Industri Tergantung Bahan Baku Impor

Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamukti mengatakan, impor bahan baku dan penolong untuk industri dan usaha lainnya di dalam negeri mencapai 92 persen dari total impor Indonesia.
"Sebenarnya kalau dilihat dari jumlah, maka impor barang konsumsi hanya 8 persen dari impor. Jadi, 92 persen adalah impor bahan baku dan penolong. Namun, kalau ini kita biarkan, industri kita akan tergantung pada impor," kata Bayu di Jakarta, kemarin.
Menurut data Kementerian Perdagangan, pada periode Januari-Oktober 2011, impor barang konsumsi, seperti makanan, minuman, bahan bakar olahan, nilainya mencapai 11,2 juta dolar AS. Ini berarti meningkat 39,8 persen dari 2010.

Sementara nilai impor bahan baku penolong seperti makanan dan minuman olahan serta suku cadang dan perlengkapan modal mencapai 108,2 juta dolar AS. Artinya meningkat 36,08 persen dari periode 2010. Sedangkan nilai impor bahan modal seperti mobil penumpang dan alat angkutan untuk industri mencapai 26,1 juta dolar AS atau meningkat 18,9 persen dari 2010.
Terkait hal ini, Menteri Kooridinator Ekonomi Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah mendorong peningkatan produksi bahan baku (raw material) dan bahan penolong (component) dari dalam negeri.
"Pemerintah ingin mengurangi ketergantungan bahan baku dan penolong impor, salah satunya dengan cara mempermudah aturan untuk mendirikan industri bahan baku atau penolong di dalam negeri," katanya.
Tujuan dari pemberian kemudahan tersebut terkait industri Indonesia yang sedang tumbuh. Namun, tentunya industri harus dapat mengurangi ketergantungan pada bahan baku dan penolong impor.
"Tindakan yang dilakukan menteri keuangan, misalnya, akan segera membahas mengenai bagaimana mengatasi penerapan bea masuk terhadap impor bahan penolong industri manufaktur. Karena untuk produk jadi tidak terkena bea. Ini membuat orang tidak berminat mengembangkan produk di dalam negeri, karena untuk mengembangkan bahan penolong komponennya terkena bea," tutur Hatta.
Pemerintah, menurut Hatta, juga akan melakukan revisi Peraturan Presiden tentang Pengadaan Pemerintah. Tentunya agar dapat melakukan pengawasan ketat dalam belanja yang terkait dengan produk dalam negeri.
"Saat ini sedang dibahas, mungkin bulan Maret. Isi pembahasan misalnya bila sekarang penyediaan barang senilai Rp 5 miliar ke atas harus ada muatan lokal. Sekarang juga harus didukung dengan sistem pelaporan dan pengawasan, sehingga penggunaan produk dalam negeri kita dapat efektif berjalan," ucap Hatta.
Selain pengaturan untuk barang, pemerintah juga akan melakukan peningkatan penggunaan jasa dari dalam negeri. Penggunaan perbankan dalam negeri di industri migas, misalnya, ternyata masih minim. Karena itu, sektor migas didorong untuk menggunakan perbankan nasional.