Membangun Kompetensi Inti Daerah

Salah satu pendekatan pengembanagan industri di daerah yang ditempuh oleh Kementerian Perindustrian saat ini adalah pendekatan pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah (KIID).
KIID ditemuka melalui 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan teoritis yaitu model persaingan mulai dari konsep keunggulan bersaing, ditambah dengan core competency dan manajemen pengetahuan, sedangkan pendekatan kedua diperoleh dari pendekatan empiris melalui pengalaman berbagai negara dan atau provinsi dalam pembangunan industri di daerah. 


Hamel dan Prahalad (1994) mendefenisikan kompetensi inti sebagai berikut :
a.  Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumber daya dan perangkat pendukungnya sebagai hasi dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis. Kemampuan yang berjalan sendiri-sendiri tidak dapat optimal mendukung kemampuan bersaing.
b. Hasil pembelajaran kolektif khususnya mengenai bagaimana mengkoordinasikan kemampuan produksi yang bermacam-macam dan mengintegrasikannya dengan arus teknologi yang berkembang.
c.  Penyelarasan arus teknologi, tentang kerja organisasi dan penghantaran nilai kepada pelanggan. Keutamaan pemberian nilai kepada pelanggan akan memberikan peningkatan kepada kemampuan bersaing daerah.
d.  Komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang mendalam terhadap kerja lintas batas organisasi di suatu daerah. Masing-masing organisasi dan institusi daerah harus terintegrasi satu sama lain dan secara bersama-sama mengembangkan potensi daerah.
Selanjutnya dikemukakan bahwa sumberdaya dan kapabilitas penting bagi daya saing apabila bernilai bagi pasar, langka dan sulit ditiru pesaing. Kompetensi inti juga dapat disarikan menjadi kumpulan keahlian, pengetahuan dan teknologi yang vital bagi bisnis.
Reve (1994) mendefenisikan kompetensi inti sebagai aset yang memiliki keunikan tinggi sehingga berbeda dengan aset yang dimiliki daerah lainnya dan sulit ditiru. Keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik sehingga mampu membentuk suatu komepetensi inti.
Kotler (1994) mengemukakan 3 (tiga) syarat dari kompetensi inti yaitu :
a. Kompetensi inti harus menjadi sumber utama bagi keunggulan bersaing sehingga dapat 
                memberikan manfaat bagi pengembangan ekonomi daerah
      b. Kompetensi inti harus sulit ditiru pesaing
      c. Kompetensi inti harus memiliki bidang aplikasi yang luas dan dapat diterapkan kepada  
          seluruh elemen masyarakat di bidang pemerintahan, bidang usaha dan bidang lainnya.
Selanjutnya pendekatan kedua dalam pengembangan KIID diperoleh dari pendekatan empiris melalui pengalaman beberapa negar dan atau provinsi dalam pembangunan industri di daerah, seperti pada tahun 1979 Hiramatsu, Gubernur daerah Oita di Jepang memperkenalkan pendekatan OVOP (One Village One Product) atau satu desa satu produk. Pendekatan ini dikembangkan untuk membangun daya saing suatu desa atau wilayah tertentu. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa daya saing suatu desa (daerah) akan dapat dibangun jika desa yang bersangkutan memfokuskan kegiatan masyarakat di sana untuk menghasilkan suatu produk yang dipandang merupakan produ unggulan desa tersebut.
Konsep OVOP dengan cepat diadaptasi masyarakat karena dipandang sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat yang tentu saja sudah akrab dengan produk tertentu yang menjadi produk unggulan mereka. Konsep OVOP kemudian diadaptasi di beberapa negara di dunia, seperti Tanzania dan Thailand. Di thailand konsep ini dinamai OTOP (One Tamboon One Product)Tanboon secara bebas dapat diterjemahkan sebagai desa.
Implementasi konsep OVOP diharapkan dapat menghindari terjadinya persaingan tidak sehat diantara desa-desa bertetangga karena setiap desa dapat mengembangkan produk unggulan yang saling berbeda, dan karenanya dapat mengisi pasar yang sama tabpa harus bersaing secara langsung. Dengand demikian kejenuhan pasar akiba membanjirnya produk yang sama di pasar juga dapat dicegah.
Namun demikian, ada kemungkinan bahwa suatu desa menjadi terlalu “sibuk” dengan produk unggulannya sehingga melupakan kemungkinan atau peluang adanya produk potensial lain yang mungkin dapat dikembangkan. Ada kekhawatiran bahwa suatu desa menjadi terlalu berorientasi pada produk masa kini dan mengabaikan peluang  untuk mengembangkan produk masa depan yang barangkali pada saat ini belum diterima pasar atau belum memberikan keuntungan finansial yang memadai, meskipun mungkin di masa mendatang produk tersebut justru dapat menjadi tulang punggung perekonomian warga desa.
Martani Huseini dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Universitas Indonesia pada tahun 1999 memperkenalkan model Sakasati (Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti) untuk membangun daya saing daerah yang dapat dikatakan memanfaatkan konsep kompetensi inti dari Hamel dan Orahalad (1995) dan Hitt (1996) tentang sumber-sumber daya saing organisasi, serta Sveiby (1999) tentang daya saing berbasis sumber daya.
Jika konsep OVOP betitik tolak pada identifikasi dan pengembangan produk unggulan, model Sakasati lebih difokuskan pada identifikasi kompetensi khas yang dimiliki suatu daerah yang diyakini menjadi sumber tercirtanya suatu produk unggulan. Artinya, model Sakasati difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi kompetensi ayang dimiliki (atau seyogianya dimiliki) suatu daerah (kabupaten/kota) dengan mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada pada suatu daerah.
Pendapat Hitt juga tidak membatasi pengertian sumber daya hanya pada sumber daya alam semata, melainkan juga mencakup sumber-sumber daya lain, termasuk kreativitas dan daya daya inovasi manusia.
Pemikiran tentang pengembangan daya saing berdasarkan konsep OVOP dan Sakasati selanjutnya dicoba-kembangkan lebih jauh oleh penulis dengan memadukan kedua pendekatan tersebut (OVOP dan Sakasati) yang hasilnya adalah perubahan dari fokus unggulan yang ditawarkan Hiramatsu menjadi fokus kompetensi inti yang ditawarkan Huseini.
Menurut pendapat penulis, panduan pendekatan ini tidaklah sepenuhnya meninggalkan konsep OVOP. Produk unggulan yang diidentifikasi dalam konsep OVOP justru menjadi titik-tolak untuk mengidentifikasi kompetensi inti industri, yaitu kompetensi di bidang industri yang menjadi dasar dalam menghasilkan produk unggulan saat ini, dan produk-produk lain yang diharapkan memiliki potensi pasar di masa mendatang.
Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, maka untuk membangun daya saing industri di daerah perlu dilakukan dengan kompetensi inti industri daerah. Kompetensi inti industri daerah dapat menajdi kunci keberhasilan daerah dalam menentukan arah pembangunan, sesuai dengan keunggulan daya saing yang dimiliki. Kompetensi inti industri daerah dapat mencegah penggunaan sumber daya daerah yang tidak tertarah dan penggunaan yang tidak efisien. Kompetensi nti industri daerah hendaknya didasarkan pada berbagai indikator ekonomi dan sosial, serta perangkat kebijakan pendukung. Kompetensi inti industri daerah dapat menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan daerah mengenai industri yang akan dikembangkan. Kompetensi inti industri daerah juga dapat menjadi sumber keunggulan daerah dalam menghadapi persaingan global serta mendorong kemandirian pembangunan.
Sumber : Orasi ilmiah (Wisuda Ahli Madya Manajemen Industri TPL 2008 APP